Opini : tentang adat dan realita

Aku mengenal orang yang berjuang mempertahankan adat dan seluruh kearifan lokalnya. Menyuarakan tentang ekologi dan ekosistem asli. Menolak hal hal yang 'katanya' adalah moderenisasi. Berusaha mempertahankan tanah adat dan seluruh sumberdaya. Baik tanah, bumi, udara, alam dan manusiannya

Aku mengenal orang yang berjuang untuk membuat apa yang disebut 'moderenisasi', mempercepat pembangunan, membangun akses jalan, tata kota yang maju. Menebarkan pemikiran pemikiran dengan ilmu pengetahuan terkini, menerapkan hasil hasil penelitian. Mengimbangi ledakan penduduk dengan sarana yang mereka butuhkan agar dapat menopang hajat hidup orang banyak.

Keduanya sama sama baik. Sama sama berkeinginan memberi manfaat kepada orang lain, sama sama memperjuangkan kebaikan. Namun. Seringkali keduanya adalah hal yang bertentangan. Barangkali seperti dua kutub magnet yang sama, sama sama positif, tapi saling tolak menolak. Apakah memang sudah sunatullah nya begitu?

Lantas, mana yang kemudian harus lebih di perjuangkan?. Mana yang lebih harus di utamakan?. Bagaimana cara mencari jawaban yang benar, atas dua pernyataan yang benar.

Jika. Hanya sebuah jika. Ada sebuah kampung adat. Yang tanahnya kaya akan emas atau bahan tambang berharga lainnya. Orang dari tanah adat itu menolak ekplorasi dan eksploitasi emas di tanahnya. Mereka memilih untuk hidup seperti biasanya dan mempertahankan kearifan adat.

Di sisi lain, orang yang lebih 'berilmu dan pengetahuan' tau harga emas dan bahan tambang itu lalu tergoda. Dengan menguasai posisi pemerintahan maka pihak tersebut mempunyai kewenangan untuk tetap membuka pertambangan. Dengan hasil tambang itu, maka pembangunan yang lebih luas dapat di lakukan. Fasilitas publik dan sarana pendidikan dapat di biayai.

Hingga suatu hari, penambangan itu di buka dengan penolakan dari warga lokal. Tapi tetap di jalankan. Hasil pertambambangan di edarkan ke seluruh negeri membiayai pembangunan di sana sini. Daerah adat itupun juga ikut di bangun. Perumahan, jalan, pertokoan, pusat wisata, semuanya serba baru. Masyarakat adat itupun akhirnya beradaptasi dengan budaya yang baru. Melupakan kearifan lokal mereka dan hidup dengan cara baru itu.

Bertahun tahun kemudian, dapur mineral tambang telah habis. Masyarakat lokal yang sebelumnya bertahan dengan budaya sederhana dan seluruh kearifannya sekarang kebingungan karena sumber ekonomi instan tadi telah beranjak keluar dari daerahnya. Yang tersisa kebanyakan adalah lubang ruang hasil tambang dan tata masyarakat semrawut hasil perubahan instan tadi.

Hilangnya orang yang 'berpengetahuan' meninggalkan daerah, membuat masyarakat lokal sadar bahwa selama kurun waktu dua puluh tahun itu mereka belum cukup belajar untuk siap hidup di budaya baru, ataupun untuk merawat hasil peninggalan budaya baru itu. Yang tersisa kini adalah orang orang yang kesulitan hidup dengan cara arif sederhana, dan juga belum siap dengan perubahan bernama 'moderenisasi'. Hidup menganggang anggang di tengah dua tebing tinggi. Bingung mau berpijak kemana.

Jika. Dan hanya jika. Waktunya diputar kembali. Yang berkuasa tidak memaksakan kehendak melakukan eksploitasi, jika dan hanya jika, tidak ada ledakan penduduk yang mengharuskan pemerintah melakukan terobosan untuk mencari sumber daya baru demi menghidupi hajat hidup orang banyak, tidak harus menyediakan lapangan pekerjaan padat karya, maka, apakah masyarakat adat dan langit buminya akan tetap terjaga?. Apakah nilai nilai mereka terhadap alam yang adiluhung akan tetap bertahan?. Ataukah perubahan itu harus tetap terjadi, dan telah jadi takdirnya siklus suksesi seperti gunung yang meletus.

Mana yang lebih benar?. Setiap orang pada akhirnya memang harus membuat pilihan. Berpijak pada sisi yang tegas. Dengan seluruh alasan dan tanggung jawabnya. Yang berjuang untuk kelokalan maka harus sungguh sungguh berjuang menyuarakan aspirasi masyarakat lokal. Yang berjuang untuk pembangunan menyeluruh juga harus bersungguh sungguh padah pilihannya. Jika ada bentrok maka sudah sewajarnya terjadi, dan kudu di selesaikan. Yang pengecut justru aku, yang tidak mampu berpijak pada keduanya, sekaligus tak mampu menolak keduanya. Yang hidup seperti air di daun talas, bermuka dua. Bagaimana lagi, keduanya bagiku sama sama benar. Bahkan jika aku lebih suka belajar tentang hakikat kehidupan dibanding mengejar materi, aku jika di beri kesempatan akan tidak keberatan jadi orang yang mengajari baca tulis di pelosok. Bukankah itu artinya aku juga berdiri di dua kaki?

Apakah orang yang tau baca tulis itu memang lebih baik dari orang yang buta huruf tapi tau cara hidup berdampingan dengan alam. Sehingga baca tulis lebih di utamakan di banding hakikat hidup itu sendiri. Dan yang paling aku ingin tau, kenapa orang yang lebih 'berpengetahuan' merasa berhak berfikir bahwa tanah yang bukan miliknya boleh di buka demi hajat hidup bersama. Apakah benar itu yang bernama prinsip keadilan?, lalu kalau begitu apa salahnya orang yang 'tidak berpengetahuan' yang ingin hidup sederhana semata mata karena Yang Kuasa. Sehingga hidupnya perlu di usik

Aku mencintai adat dan segala filosofinya, tapi aku juga menyukai dunia yang berwarna warni penuh harmoni, dari algebra hingga bahasa asing. Aku ingin anak anak bebas bermain di terik matahari siang, sebagaimana aku suka anak anak yang membaca dan mengamati pengetahuan, bahkan aku repot repot membuat perpustakaan. Ah, jika orang lain melakukan apa yang mereka bisa, maka aku yang tidak melakukan apapun ini lantas apa. Sejujurnya, Bahkan jika keberadaanku hanyalah sebuah gangguan pada keseimbangan alam banyak merugikan orang lain, aku ingin bermanfaat walaupun sedikit bagi orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

pengalaman mengurus surat keterangan bebas narkoba (SKBN).

Review : Serenade Biru Dinda

Mencari Jurnal di Universitas Brawijaya