Opini: Merah Putihku yang Pilu

Sore ini saya sedang berada di sebuah desa, tak jauh dari Kota Malang. Hujan mulai turun, menambah dinginnya udara pegunungan yang memang sudah dingin.

Selepas melakukan tugas pagi menjaga perpustakaan, tengah hari saya berpindah ke kelas untuk mengajar, iya benar ini program kerja   KKN ku, tetapi lebih dari itu bagiku ini adalah bagian dari proses untuk kembali ke masyarakat, setelah lebih dari 15 tahunku di habiskan untuk berada di bangku sekolah, tak lama lagi aku akan masuk ke dunia baru, yang bernama kenyataan.

Kelas sore itu adalah tambahan, kami sengaja mengambil waktu selepas sekolah agar tidak mengganggu waktu guru melaksanakan program tahunannya.

Materinya tentang sifat sifat cahaya. Semua jenis emosi siswa keluar, perpaduan antara rasa lelah seharian bersekolah, rasa lapar bagi yang tak sempat makan, dan rasa antusias menemui kakak kakak KKN.

Seperti sewajarnya manusia, secara psikologi orang akan berkelompok sesuai dengan golongannya, sebagaimana hati menerima, seringnya sih berdasar karakter yang sama, atau "status sosial" yang sama. Yang kaya dengan yang kaya, yang miskin dengan miskin, pintar dengan pintar, pendiam dengan pendiam dan seterusnya, bukan berarti join antara dua kubu yang berlawanan tidak mungkin, tapi yang pasti ada hal yang sama yang menyatukan orang dalam sebuah kelompok.

Begitu juga di kelasku tadi, semua berkelompok. Kecuali satu orang yang sepertinya tidak di terima di lingkungan pergaulan mereka, sebut saja A, si A jadi bahan bullying, rencananya aku menanyai salah satu dari mereka untuk mengorek informasi, namun sayangnya karena hujan janji temu kami terpaksa di batalkan. Secara garis besar, jika hanya di lihat dari kulitnya, saya bisa menyimpulkan mengapa A tidak bisa di terima, secara fisik dia lebih pendek, dan kulitnya terlihat kusam dan kotor, namun penampilan fisik lainnya sepertinya tak ada masalah, hal lainnya mungkin karena dia anak yang pendiam (mungkin memang introvert, menjadi introvert dihingar bingar dunia itu tidak mudah), atau memang karena dia terlanjur minder lalu diam?.

Saya bertanya tanya kepada diri sendiri, mengapa ada orang orang yang menjauhi yang lain, sejujur itu pula. Okelah dalam kasus ini, mereka adalah anak anak, namun realitanya, budaya saling menjauhi  itu juga sering terjadi di kalangan orang dewasa. Bahkan tidak sekedar menjauhi, seringkali kekerasan fisik mengikuti.

Pada lingkup yang lebih luas, contohnya negara ini, media di penuhi dengan berita berita yang membuat hati tambah ciut, pembunuhan lah, demo lah, pembakaran lah, dan seterusnya. Hal itu menjadi kaca yang bagus mengenai apa yang terjadi (walaupun yang ada di media seringkali jadi bombastis pemberitaannya)

Semua realita itu membuatku menjadi berfikir, yang hatiku jadi kisut kisut, seperti bendera merah putih di depan rumah yang jadi lambang negara ini. Apa iya inikah yang di namakan manusia, atau memang menjadi manusia itu sudah tidak keren lagi. Apa memang harus menjadi hidup itu berarti harus begitu caranya.

Ah merah putihku yang sudah kisut dan robek robek, yang kecil saling membuli, yang besar saling sok benar. Betapa kasiannya merahmu yang pudar dan putihmu yang telah jadi abu abu.

Comments

Popular posts from this blog

pengalaman mengurus surat keterangan bebas narkoba (SKBN).

Review : Serenade Biru Dinda

Mencari Jurnal di Universitas Brawijaya